Tulisan ini merupakan kelanjutan
dari tulisan sebelumnya. Bagi yang belum membaca tulisan sebelumnya, silahkan
baca di catatan saya
[http://www.facebook.com/messages/?action=read&tid=id.376891442322169#!/kastotosuwardi/notes]atau
kastotoblog.blogspot.com.
Adapun pembahasan keseluruhan dari
“KENAPA BERPOLITIK ??? (bagian 2)” yaitu
1. fatwa dari al Lajnah al
Da'imah Li al Buhuts al ‘Ilmiyah wa al ifta Saudi Arabia mengenai partai
politik dan keputusan musyawarah Majlis Hukum Islam mengenai partisipasi dalam
pemilu.
2. fatwa personal dari ulama ahlu
assunnah wa al jamaah mengenai parlemen antara lain dari syaikh al Albany,
syaikh Ibn Baz, syaikh al Utsaimin dan syaikh al Fauzan
3. pendapat ustadz Dr. Muhammad
Muinuddinillah Basri, M.A (pakar syariah & murid syaikh ibn Baz) mengenai
sistem demokrasi. Beliau juga sempat melakukan konfirmasi kepada ulama Saudi
mengenai fatwa boleh masuknya muslim ke parlemen melalui pemilu seperti yang
terjadi di Indonesia.
4. pemilu untuk anggota DPRD yang
diselenggarakan oleh kerajaan Arab Saudi pada tahun 2005 sebagai implementasi
fatwa ulama Saudi.
Demikian prolog dari penulis.
Selamat mengkaji tulisan ini. Semoga bermanfaat.
xiiiiiiiiiiiiiiiiixxxixiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
C. Pendapat ustadz
Dr. Muhammad Muinuddinillah Basri, M.A (pakar syariah & murid syeikh ibn
Baz) mengenai demokrasi dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
Ustadz Dr. Muin (kiri) saat aksi munashoroh Suriah |
GirlieZone edisi 2 / Th
1/maret-april 2009, halaman 43
Konsultasi Syariah dengan
judul “Golput atau Memilih ?”
Tanya : Ustadz, saya sedang
bingung banget. Bentar lagi kan pemilu. Partainya banyaaak banget ya ?! belum
abis bingung buat nyari partai yang baik, eh …dalam sebuah acara pengajian di
sekolah, malah saya disarankan untuk golput. Gimana nich, Ustadz ? sebaiknya
golput atau memilih ? (NN, Solo).
Jawab :
Nanda NN, belum lama ini
kaum muslimin disibukkan dengan polemik yang tajam dalam masalah ikut pemilu
atau golput. Kaum muslimin di Indonesia memiliki pendapat yang kontradiktif,
ada yang menganggap golput itu wajib, dan memilih itu haram bahkan syirik,
sementara ada yang mengharamkan golput dan mewajibkan memilih. Yuk, kita
bicarakan dulu hukum demokrasi. Demokrasi yang berarti pemerintahan dan
otoritas di tangan rakyat, dan benar atau salah, sesuatu ditentukan oleh suara
mayoritas rakyat, tanpa melihat apa yang dikatakan Allah dan Rasul-Nya, ini
jelas-jelas suatu kekufuran. Tidak ada perselisihan diantara ulama. Suara
rakyat bukan sumber otoritas dan hukum. Allah berfirman, “sesungguhnya diin di
sisi Allah adalah Islam” Islam meyakini bahwa kekuasaan tertinggi hanya pada
Allah, hukum hanya milik Allah, sedang rakyat bertugas menjalankan hukum Allah.
Adapun menggunakan
atau memanfaatkan iklim kebebasan sistem demokrasi untuk berkompetisi dengan
para pengikut ideologi selain Islam, untuk menawarkan konsep Islam sebagai
konsep terbaik, dan menawarkan orang-orang shalih yang kapabel dan kredibel
untuk memimpin negeri ini dengan undang-undang Islam dan hukum Islam, tidak ada
alasan untuk menolaknya. Ini bukan berarti kita beriman dengan demokrasi. Kita
hanya memanfaatkan kebebasan untuk memantapkan sistem Islam di negeri Indonesia
yang kita cintai. Jadi masalahnya bukan golput atau tidak golput. Memilih dalam
pemilu, tidak wajib atau wajib, jawabannya sangat kondisional. Jika masih ada
caleg dan ca eks (calon eksekutif) yang bisa diharapkan membawa Indonesia lebih
baik, apalagi rival di lapangan caleg dan ca eks yang ahli maksiat, Islam
mewajibkan kita untuk menolak madharat dengan menggagalkan mereka yang anti
kebaikan dan kebenaran, serta mencari maslahat dengan mendukung mereka yang pro
kebenaran.
Tapi jika tidak ada
caleg/ ca-eks yang dipercaya karena semua rusak, golput bisa jadi pilihan.
Mungkin ada yang bertanya tapi Indonesia kan sekuler, ngapain ikut terlibat
didalamnya? Ada contoh dari nabi Yusuf alaihi salam. Beliau hidup di Negara
kafir, rajanya kafir dan rakyatnya kafir. Namun ketika beliau ditawari posisi
di pemerintahan, beliau menerimanya, bahkan menentukan posisi yang tepat
sebagai pemegang logistik. Jadi, kita boleh memanfaatkan kekuasaan untuk
berdakwah, walaupun tidak bisa dengan serta merta mengubah undang-undang.
Demikian juga ketika raja
Najasyi masuk Islam, beliau tidak serta merta meninggalkan kekuasaannya. Dan
karena negara yang beliau pimpin adalah negara kafir dan sistemnya juga kafir,
beliau tetap memimpin negeri itu dan memanfaatkan kepemimpinannya untuk
melindungi orang yang lemah, sampai beliau meninggal dunia.
Nanda, syaikhul Islam ibnu
Taimiyah juga memfatwakan agar seorang menerima jabatan atau tetap memegang
jabatan yang mampu beliau laksanakan dengan baik, dan menekan sebagian
keburukan yang beliau mampu. Sebab kalau itu ditinggalkan, akan diisi orang
yang buruk. Berbeda pendapat dalam masalah boleh memilih atau tidak, golput
atau ikut memilih, silahkan saja, tetapi jangan sampai mengkafirkan orang yang
ikut pemilu. Jika parlemen tanpa misi Islam, hanya sekadar mencari penghasilan
dan mengamini apapun keputusan parlemen, ini yang tidak diterima. Adapun yang
ingin berjuang, kita doakan dan ingatkan, agar tetap menjaga integritas diri,
kelurusan niat dan manhaj Islam.
Saya tanyakan
langsung kepada syeikh Bin Baz, Syekh Utsaimin dan syekh Abdul Aziz berkaitan
dengan negara Indonesia yang sekuler, apakah boleh kaum muslimin mencalonkan
orang kuat dan salih di kalangan mereka, agar menjadi anggota legislatif untuk
berjuang membuat undang-undang yang berlandaskan Islam, jawabannya, semua
memperbolehkannya.
Harapan kita, partai-partai
Islam menjadikan demokrasi
hanya sarana untuk mengubah Indonesia menjadi negeri yang
menjadikan Allah sebagai sumber hukum, sumber kepemimpinan, sumber aturan dan
tidak menjadikan demokrasi sekuler sebagai ideologi.
makasih gan buat infonya dan semoga bermanfaat
BalasHapusbagus bos artikelnya dan sangat menarik
BalasHapusterimakasih mas infonya dan salam sukses selalu
BalasHapusmantap sob buat infonya dan salam kenal
BalasHapus